Cerpen/ Judul Karangan/Prosa/Supir


SUpir
KARYA : JUCA AIYOLANDA

Bagi seorang sopir angkutan kota Angkot, sampai ke tujuan dengan selamat itu sudah cukup” berjibaku dengan lautan kendaraan,mogok karena usia kendaraan yang tua itu merupakan sebuah kewajaran dalam setiap letih.
“Bagaimana mau jalan kalau tiap hari dorong rongsokan. Kita bisa rugi, tiap hari harus masuk bengkel,” celoteh para supir angkot dipangkalan simpang rimbo itu.
Sudah nasibnya, Tiap hari mandi keringat bagi seorang supir angkot.
“kapan kita bisa jadi supir taksi dengan mobil mewah tampa harus kepanasan.”
Tentu bagi supir-supir angkot itu tak akan pernah tahu sampai kapan ia harus tetap mengemudi untuk  menyambung hidupnya ketimbang harus berganti profesi. Hanya keluarga sebagai penyemangat hidup. Wajah Pak Ginting dikaca jendala Mobil mulai pudar seiring bertambahnya usia dan karatnya dinding-dinding mobilnya, bahwa sangatlah sulit apabila usia sudah tak bersabat untuk di ajak bekerja.
“Mobil kami memang rongsokan Pak Amdek, tapi mau bagaimana lagi mau cari makan  untuk keluarga, “ tutur pak Ginting kepada  Pak Amdek yang seorang supir taksi Bandara.
“Jual mobilkan bisa dan cari usaha lain seperti teman-teman supirmu yang lain.”
“Misalnya?”
“Misalnya, kamu bisa Membuka usaha lain dari hasil penjualan mobil rongsokanmu itu, lalu kamu ganti dengan buka warung kecil-kecil jual lontong atau gado-gado di pagi hari, Kau tahu kalo kita hidup di zaman modrenisasi seperti sekarang harus berpikir cepat kalo ingin bertahan hidup, Pak Ginting!”
Pak Ginting pun tersenyum. “Saya tidak yakin Pak istri saya masih sakit-sakitan dan anak saya masih kecil ketiganya, sejak kabut asap, istri lebih sering sakit, pekerjaannya tukang bersih jalan itu penyebabnya,” Sambil mengerutkankan keningnya.”
Pak Amdek pun termangu. Meskipun bicaranya terkadang kasar, ia masih memiliki kepedulian didalam hatinya. Pindah profesi atau mencari peluang usaha lain memang sulit, terlebih keadaan perekonomian dan istrinya yang sakit. Sebagai sesama supir pastinya dia mengerti keadaan seperti ini, untungnya nasibnya bagus di antara supir-supir di kota besar.
“Nasibmu memang beruntung, Pak. Beda dengan kami para supir angkot.”
“Tapi Nasib bisa dirubah. Walaupun, Nasib kita buruk kalau kita mau berusaha pasti akan ada bagian baiknya. Aku tak punya banyak pengalaman hidup ketika menjadi seorang supir, tapi yang saya tahu mencoba dulu kalo kepengen tahu hasilnya.”
Kukabarkan kepada istriku sesampainya di rumah.
“ Buk kalau bapak berhenti menjadi supir bagaimana?”
“Itu terserah bapak. Katanya masih sanggup supir.”
“Tapi bapak kepikiran kata-kata Pak Amdek.”
“Memang apa katanya, Pak?”
“Kalau Bapak tiap hari harus ngeluarin biaya perbaikan mobil, lama-lama bapak bakal rugi jadi supir angkot”.
“Kalau berhenti jadi supir, Bapak mau ngapain?”
“Bisa buka warung atau jualan kecil-kecilan di rumah, atau Bisa kita buka angkringan Malam di pinggir kota.”
“Sudah bapak pikirkan matang-matang, kondisi ibuk belum cukup sehat, biaya makan di rumahkan bisa ibu tutupi dengan pekerjaan ibuk.”
Aku mencoba melupakan Perkataan Pak Amdek itu, apalagi istriku belum cukup sehat untuk mulai usaha baru, mungkin kami harus bersabar dulu untuk saat ini. Tapi minggu pagi ini Pak Dedi menghampiriku ketika aku mencuci angkot di depan rumah Pak Amdek, di pagi hari sebelum berangkat ke terminal.Bersamanya tampak ibu-ibu dengan pakaian kaptan dengan manik-manik di sekitar jilbabnya.di lengannya terapit Gendang rebana turut serta dua orang anak tersebut bersama ibunya, sekitar Tujuh orang orang ibu-ibu itu bersama anaknya yang datang bersama Pak Dedi.
“Mau kemana pak? “Bukanya hajatan Anak Pak Amdek minggu depan.”
“Bapak keliru. Saya justru mau ngasih rejeki untuk bapak.”
“Maksudnya Pak?”
“Ini ibu-ibu ini mau Menghadiri acara pernikahan keluarga di Kumpe, Bisakan mengantarnya Pak Ginting?”
“Oh tentu Pak.”
Setelah mengelap kaca depan mobil, satu-persatu ibu-ibu yang sebagian paruh baya ini memasuki mobil. Gendang-Gendang rebananya di Taruh di bawah kursi mobil. Anak-anak yang ikut bersama harus di pangku karena kapasitas mobil yang tidak cukup.
“Hati-hati jalan Pak, dengan suara yang serak karena penyakit tenggorokannya.
“Ya buk,” Sahut Pak Ginting dengan semangat.
Memang sudah lama Pak Ginting tidak mendapat Carteran Seperti ini, Terlebih karena pengaruh kabut Asap, Orang-orang lebih banyak di rumah, ketimbang Harus keluar.
Pagi itu Matahari yang biasanya berwarna kuning cerah, Sekarang berwarna kuning kemerah-merahan pekat karena  tercampur polusi udara. Penyebabnya berhektar-hektar lahan yang dilahap  sijago merah beberapa pekan ini. Alhasil, kota ini selubungi  asap pekat yang menyebabkan polusi udara. Memang bingung siapa yang harus disalahkan tentang kejadian ini, banyak sekali dampak yang dirasakan dari bencana ini, sekolah-sekolah diliburkan, Penerbanganpun sering terhambat dan di beberpa titik di sekitar daerah di luar kota jambi sering terjadi kebakaran lahan.
“Pak Nanti kita lewat kantor gubernur dulu ya, kata salah satu ibu-ibu di dalam mobil itu.
“Kenapa Buk?”
“Ada satu penumpang lagi dan dia sedang menunggu disana.”
Ketika melawati kantor Gubernur ada yang beda dengan patung SultanTaha yang berada di Dalam pagar Kontor tersebut. Patung setinggi  Delapan meter itu, Wajahnya di Pasangi Masker tertuliskan “Lingdungi negeriko dari Asap.”
Semenjak Bencana kabut-kabut Asap banyak aksi protes dari berbagai kalangan baik itu Mahasiswa, ataupun LSM yang  protes kepada pemerintah Jambi karena kurang Tanggapnya pemerintah terhadap bencana ini yang berlangsung dari tahun –ketahun dan bertambah parah.
Melewati lampu merah banyak sekali pemuda-pemuda memakai Jas berwarna orange membagikan Masker, Aku mengambil beberapa untuk ibu-ibu didalam mobil.
“Pak Maskernya. Agar Pernapasannya aman.”
“Oh ya terimakasih.”
Ketika membangikan masker itu ke pada ibu-ibu, Hatinyapun mulai gamang. Dia mulai teringat dengan keadaan istrinya yang sakit tenggorokan di sertai Panas tubuhnya yang kadang-kadang tinggi. Perlahan mobil itu mulai meninggalkan kota menuju pelosok kota, Hatinya berkata “semoga perjalanan ini aman, karena ia sangat kuatir mobil ini mogok. Sehingga, menghambat perjalanan.
“Pak sudah lama ya jadi Sopir?”
“ iya buk, Kenapa?”
“Lama ya Sampainya!”
“Maaf buk mobil ini sudah tua, “tapi apa mau dikata inilah apa adanya.”
Pak Ginting hanya mengusap dadanya mendengar celotehan ibu-ibu itu.
“Seandainya kalau bapakku tak sakit, aku tak akan bernasib seperti ini.”
Semenjak kecil Pak Ginting sudah di tinggal pergi oleh ayahnya.
Hal yang tak mengerti dulu sekarang mampu ia pahami “tampak ada yang beda dari jalan bapakku dulu .seolah darah yang mengalir di  pembuluh kakinya tidak berfungsi, Bapak terlihat pincang!”
“Ginting Kesini Nak.”
“Ada apa Pak?” Sahut Ginting yang kala itu masih kelas 3 SD.
“Tolong ambilkan Es batu.”
Ginting Bingung kenapa setiap malam hari dia bapaknya selalu minta di bawakan Es batu di kamar tidur.
“Pak apa kita harus pulang ke desa?”
“Tidak perlu buk,” Sambil mengusapkan Es batu ke punggung bagian belakangnya.
“Uang Kita Menipis.”
“Yang tabah Ya buk,” bapak akan kembali lagi kerja.
Tampaknya usia tak mengizinkannya untuk tetap tinggal di dunia ini. Sakit yang deritanya tak mampu lagi di obati karna biaya.
Semua ini bermula ketika terjadi kecelakaan di depan Bandara, saat akan berbelok arah Mobil Taksi yang dibawanya, tiba-tiba di hantam dari samping oleh Mobil pemadam kebakaran. Mobil taksi itupun terseret sampai ke trotoar jalan. dengan keadaan keritis bapaknya di larikan ke Rumah sakit. “Terjepitnya Bantalan  tulang bagian belakang(Laminectomy) sehingga Bapakmu harus berulang kali harus dioperasi pengikisan tulang agar Saraf batalan tulang tidak terjepit lagi.” Tutur ibunya sebelum kepergian ayahnya menghadap sang pencipta.
Sepanjang Jalan yang dikendarainya tampak sawah-sawah dan lahan pertanian yang mengering , Asap lebih pekat di daerah ini, jalanan yang sebagian masih kerikil Tampak kering dan berdebu.
Tempat yang biasanya subur ini di sulap oleh alam seperti Gurun pasir yang tandus.
Ketika akan melewati tikungan terakhir mobil ini tiba-tiba terhenti, kali ini bukan karena mogok atau rusak!
“Kenapa berhenti pak.”
“Kami bisa terlambat.”
Sontak di dalam kendaraan riuh oleh celoteh ibu-ibu.
“Maaf buk.” Jalanannya macet
“Kenapa Bisa?”
Tampak dari kejauhan beberapa Mobil Pick up dengan tengki air. Sebagian warga mengibaskan air kekumpalan asap , dan beberapa orang bahu-membahu mempo air dan di semprotkan kelahan mereka. Asap yang menggulung bersama merahnya api di siang yang terik itu menjadi pemadangan yang gerah  di siang ini.Rumput dan lahan pertanian yang mengering melanda daerah-daerah pelosok kota ini telah menyumbangkan Asap ke langit.
Hampir setengah jam kami mengantri akhirnya kendaraan ini bisa di pacu kembali. Dari kejauhan sudah terdengar suara keras yang meramabat melalui udara. Tampak tenda mewah berdiri kokoh dengan berbagai hiasan. Orang-orang seolah tak menghiraukan kabut asap yang melanda daerah mereka. Satu persatu ibu-ibu ini turun bersama anaknya  dari  dalam mobil dengan terburu-buru.
“Makasih Pak.”
“Ya sama-sama.”
Perlahan-lahan aku mulai melaju meninggalkan tempat ini dan memasuki kota kembali. Ketika melewati bandara dada gemetar mengingat cerita bapak dari ibuk. Pandangan ini seolah tak bisa lepas dari jalanan dan trotoar. Ketika berada di ujung jalan, Mobil box tiba-tiba menyalip dari samping kiri, sontak tanganku repleks memutar setir, dari arah berlawanan terlihat Mobil Merah yang tak asing melaju kencang ke arah ku. Jasad ini seolah lepas dari raganya dan pandangan ini seolah kabur. Sekujur tubuh ini mati rasa dan menggulung bersama ingatan kecelakaan yang telah merenggut bapakku. Tampak cahaya samar-samar di balik jendela dan aku seolah melihat ayahku.
“Pak bangun,” bangun...
“Ayah bangun,”Ayah...
“Buk ayah kenapa tidur?”
Tubuh yang mati tenggelam ini terangkat kembali.  Ketika mendengar suara anakku. Perlahan mata ini terbuka. Tak sadar aku sudah dikelilingi keluarga dan beberapa teman sopir ku termasuk juga Pak Amdek, kening pria paruh baya itu bercucuran , Sebagian lengan kemejanya dipenuhi bercak darah.
“kau baik-baik saja,” Bukan.
“Bicaralah agar kami tau kondisimu.”
“Terimakasih Pak.”
Aku yakin pria yang kulihat samar-samar di kaca jendela itu buka ayahku, tapi Pak Amdek yang telah mengeluarkan aku dari dalam mobil dan membopongku ke sini.
“Ya tuhan kebetulan saya lewat sehabis mengantar penumpang kebandara.”
“Buk.”
“Ya pak,” dengan air mata yang bercucuran dia dekatkan kupingnya ke mulutku.
“Bapak Bakal sembuh Buk.”
“Ya Pak,”
Tiba-tiba Isak tangis pun pecah di ruangan itu. dingin tak terkatakan lagi menggetarkan ujung kaki. Detik matahari  sepenuhnya tenggelam. Tirai Senja di langit sore bulan september perlahan tertutup, Sebelum menggulung-gulungnya bersama kabut di udara. Jasad itu kembali kepada samudera sang pencipta dan hanya tuhanlah yang tahu sisa umur ini di dunia.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Getar petualang

sejarah singkat pencinta alam